Pertanyaan yang sering muncul usai Idul Adha adalah Bagaimana hukumnya orang yang menjual daging kurban? Apakah diperbolehkan atau tidak?
Dosen Ekonomi Islam, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UNAIR Irham Zaki menyebut hal ini tergantung dari sisi penerima atau yang berkurban.
Jika Anda adalah orang yang melakukan kurban, maka hukum jual beli daging kurban jadi tak berlaku. Artinya orang yang berkurban tak diizinkan untuk menjual daging kurban.
“Secara umum filosofi kurban untuk mendekatkan diri ke Allah, tidak ada motif untuk bisnis dan keuntungan pribadi,” jelas Dosen Fikih Muamalah itu.
Zaki menerangkan lebih lanjut bahwa mereka yang berkurban tidak diizinkan untuk memperjualbelikan daging atau kulit hewan kurban. Bahkan, mereka juga dilarang untukmembiayai proses penyembelihan seperti membayar tukang jagal dan sebagainya. Hal itu dikarenakan ibadah kurban pada hakikatnya adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah, tidak ada motif ekonomi di dalamnya.
Orang yang berkurban namun menjual hewan sembelihan tidak akan menjadi kurban, melainkan hewan sembelihan biasa. Orang yang berkurban tidak diperbolehkan menjual daging, kulit, dan kepala hewan kurban.
“Hewan yang disembelih pada hari raya kurban hanya menjadi sembelihan biasa, orang yang berkurban tidak mendapat fadlilah pahala berkurban sebagaimana sabda Rasulullah SAW,” tulis NU Online.
من باع جلد أضحيته فلا أضحية له) أي لا يحصل له الثواب الموعود للمضحي على أضحيته
Artinya,”Barangsiapa yang menjual kulit kurbannya, maka tidak ada kurban bagi dirinya. Artinya dia tidak mendapat pahala yang dijanjikan kepada orang yang berkurban atas pengorbanannya,”(HR Hakim dalam kitab Faidhul Qadir, Maktabah Syamilah, juz 6, halaman 121).
Sementara Mazhab Hanafi membolehkan penjualan daging atau kulit kurban dengan catatan hasilnya disedekahkan atau dimanfaatkan untuk keperluan rumah tangganya. Hal ini disebutkan oleh Taqiyuddin Al-Hushni Al-Husaini dalam Kifayatul Akhyar seperti kutipan berikut ini.
واعلم أن موضع الأضحية الانتفاع فلا يجوز بيعها بل ولا بيع جلدها ولا يجوز جعله أجرة للجزار وإن كانت تطوعا بل يتصدق به المضحي أو يتخذ منه ما ينتفع به من خف أو نعل أو دلو أو غيره ولا يؤجره والقرن كالجلد وعند أبي حنيفة رحمه الله أنه يجوز بيعه ويتصدق بثمنه وأن يشتري بعينه ما ينتفع به في البيت لنا القياس على اللحم وعن صاحب التقريب حكاية قول غريب أنه يجوز بيع الجلد ويصرف ثمنه مصرف الأضحية والله أعلم
“Perlu diketahui bahwa ibadah kurban itu terletak pada pemanfaatan tubuh hewan kurban itu sendiri. Karenanya daging kurban tidak boleh dijual, bahkan termasuk menjual kulitnya. Bahkan orang yang berkurban tidak boleh memberikan kulitnya kepada penjagal sebagai upah penyembelihan hewan kurban meskipun kurban itu ibadah sunah. Orang yang berkurban boleh menyedekahkan kulitnya. Pilihan lain, ia boleh memanfaatkan kulitnya untuk membuat khuf (sepatu rapat tak tembus air, terbuat dari kulit), sandal, timba, atau benda lainnya. Tetapi ia tidak boleh memberikannya kepada orang lain sebagai upah penyembelihan. Status perlakuan terhadap tanduk hewan kurban serupa dengan perlakuan terhadap kulit hewan kurban.
Bagaimana hukumnya orang yang menjual daging kurban jika dia adalah penerima daging hewan kurban?
Pria yang dipanggil Zaki ini menjelaskan bahwa distribusi daging kurban ini berbeda dengan zakat, di mana distribusi daging kurban bersifat lebih fleksibel bila dibandingkan dengan zakat.
“Jadi, jika daging kurban itu sudah diberikan, maka sepenuhnya akan menjadi hak sang penerima. Distribusinya lebih fleksibel, namun tetap diprioritaskan kepada fakir miskin,”tutur Zaki soal hukum jual beli daging kurban.
Dia menerangkan bahwa daging kurban yang sudah diberikan merupakan hak mutlak bagi si penerima. Artinya, daging kurban boleh dikonsumsi, diberikan kepada orang lain, atau dimanfaatkan dan dijual kembali.
Hanya saja, meski demikian Zaki menegaskan daging yang dapat dijual hanya merupakan daging yang telah didistribusikan, bukan daging kurban yang baru saja dipotong atau daging kurban milik individu yang menunaikan ibadah kurban. Daging yang telah didistribusikan ini dapat dimanfaatkan atau dijual, baik dalam keadaan utuh maupun dalam bentuk yang telah diolah.
“Penerima kurban lebih fleksibel, tentu kalau diperuntukkan untuk konsumsi itu akan lebih baik. Tetapi jika dijual akan mendatangkan lebih banyak manfaat untuk kebutuhan lain, ya boleh saja,” ungkapnya.
Hanya saja orang yang boleh menjual daging kurban ini adalah orang miskin. Jika si penerima daging tersebut orang miskin, boleh menjual kepada orang lain. Keterangan ini diungkapkan oleh Habib Abdurrahman Ba’alawi sebagai berikut.
وللفقير التصرف في المأخوذ ولو بنحو بيع الْمُسْلَمِ لملكه ما يعطاه، بخلاف الغني فليس له نحو البيع بل له التصرف في المهدي له بنحو أكل وتصدق وضيافة ولو لغني، لأن غايته أنه كالمضحي نفسه، قاله في التحفة والنهاية
Artinya,”Bagi orang fakir boleh menggunakan (tasharruf) daging kurban yang ia terima meskipun untuk semisal menjualnya kepada pembeli, karena itu sudah menjadi miliknya atas barang yang ia terima. Berbeda dengan orang kaya. Ia tidak boleh melakukan semisal menjualnya, namun hanya boleh mentasharufkan pada daging yang telah dihadiahkan kepada dia untuk semacam dimakan, dijadikan sajian tamu meskipun kepada tamu orang kaya. Karena misinya, dia orang kaya mempunyai posisi seperti orang yang berkurban pada dirinya sendiri. Demikianlah yang dikatakan dalam kitab At-Tuhfah dan An-Nihayah. (Lihat Bughyatul Mustarsyidin, Darul Fikr, halaman 423).
Itulah jawaban tentang bagaimana hukumnya orang yang menjual daging kurban dari sisi pemberi dan penerima.
[CNN]