JAKARTA, KOMPAS.com– Mantan ajudan Presiden Soekarno, Sidarto Danusubroto, mengungkapkan detik-detik Bung Karno terusir dari Istana Kepresidenan.
Sidarto menuturkan, di suatu hari, Bung Karno dilarang untuk masuk ke dalam Istana oleh petugas Korps Polisi Militer (CPM).
“Saya antar Bung Karno makan sate di Tanjung Priok, lalu mau ke istana dilarang masuk oleh CPM waktu itu ya,” kata Sidarto dalam program Gapsol! Kompas.com, Selasa (27/6/2023).
Sidarto menuturkan, secara de jure Bung Karno masih menjabat sebagai presiden ketika itu.
Meskipun, ia mengakui bahwa secara de facto kekuasaan sudah dipegang oleh Suharto seusai meletusnya Gerakan 30 September 1965.
Sidarto menuturkan, ketika dilarang masuk ke Istana, Bung Karno hanya meminta diambilkan bendera pusaka yang tersimpan di Istana.
“Dia hanya meminta ambil bendera pusaka, diambil dan dibawa ke Wisma Yaso. No single cents, tidak punya uang,” ujar Sidarto.
Akibatnya, Sidarto sebagai ajudan pun harus pontang-panting mencari uang untuk memenuhi keperluan harian Bung Karno.
Sidarto mengakui hal itu tidak mudah, banyak orang dekat Bung Karno yang menjauh ketika diminta bantuan karena mereka takut dikait-kaitkan dengan Bung Karno.
Akhirnya, Sidarto bertemu dengan seorang kepala rumah tangga istana bernama Tugimin yang memberikan uang 10.000 dollar AS untuk Bung Karno.
Setelah mendapatkan uang, tugas Sidarto pun tidak mudah karena ia selalu digeledah setiap hendak bertemu Bung Karno di Wisma Yaso.
Oleh karena itu, ia meminta bantuan anak Bung Karno, Megawati Soekarnoputri, untuk menyelundupkan uang tersebut.
“Saya minta tolong Mega, ‘Mbak Mega, kalau saya digeledah’. Jadi ditaruh di bawah roti khong guan, kaleng ada rotinya di bawahnya dikasih uang dollar,” ujar Sidarto.
Sidarto mengungkapkan pada masa Bung Karno diasingkan, tak ada keluh kesah yang terlontar dari bibir Sang Proklamator. Namun, sebagai satu-satunya orang yang setiap hari berada di sampingnya, Sidarto memahami betul Bung Karno tampak kesepian dan kehilangan orang-orang dekatnya.
Kondisi ini yang kemudian memperparah sakit ginjal yang dideritanya. Ditambah, pemerintahan saat itu mempersulit pengobatan Bung Karno. Untuk berobat saja, Bung Karno harus meminta izin Pangdam Jaya. Resep-resep obat yang diberikan dokter juga tak pernah bisa ditebus.
Perlahan namun pasti, kondisi fisik Bung Karno menurun hingga akhirnya ia wafat pada 21 Juni 1970.
[KOMPAS]