JAKARTA tahun 1957 adalah ibu kota negara yang problemnya “ringan” ketimbang tahun 2023.
Pada tahun ini, Jakarta yang kini luasnya 661,5 km² dan populasi 10,56 juta jiwa di punggungnya begitu sarat problema, yang dianalisa untuk tahun-tahun berikutnya jalannya bisa sempoyongan.
Hal ini yang tahun 1957 begitu jelas dianalisa dan dikalkulasi Bung Karno: Jakarta bila terus menerus dijadikan ibu kota negara bakal sempoyongan.
Dalam pidatonya yang termahsyur tahun 1957, berjudul “Pidato Palangkaraya”, Bung Karno gamblang menunjukkan bahwa Jakarta, sebagai ibu kota, memiliki sejumlah problema antara lain lingkungan, banjir, dan kemacetan lalu lintas.
Apa menjadi analisa dan prediksi Bung Karno ini –paling sedikit— pada masa kini ada benarnya.
Presiden pertama Republik Indonesia ini juga mempresentasikan visi dan gagasan untuk memindahkan ibu kota dari: Jakarta ke lokasi yang lebih strategis.
Waktu itu, Soekarno mengusulkan agar pulau Kalimantan sebagai lokasi potensial untuk ibu kota baru.
Ia melihat Kalimantan sebagai lokasi yang strategis karena letaknya yang sentral di Indonesia, jauh dari wilayah rawan bencana alam, serta memiliki sumber daya alam melimpah.
Bung Karno berharap bahwa pemindahan ibu kota ke Kalimantan dapat mendorong pembangunan ekonomi di wilayah tersebut dan sekitarnya.
Apa yang menjadi idiomatik harapannya ini tak terlepas dari perspektif geostrategis terhadap perencanaan kota internasional.
Lewat perspektif geostrategis pula kemudian terungkap ada implikasi terhadap penguatan kedaulatan bangsa, di mana pemindahan ibu kota dapat digunakan untuk jangka waktu yang panjang demi meningkatkan keamanan negara.
Hal ini memungkinkan bagi negara untuk melakukan kontrol terhadap negara secara keseluruhan, dan mengurangi risiko invasi atau intervensi dari negara-negara lain dengan mempertimbangkan keberadaan populasi yang kecil di dunia.
Geostrategis ini memperjelas pula terhadap implikasi ekonomi untuk meningkatkan ekonomi regional.
Mencakup dimensi simbolik
Di sisi lain yang tak bisa dinafikan begitu saja, bahwa suatu negara dapat meningkatkan lingkup pengaruhnya di bidang politik, ekonomi, dan keamanan di wilayah regional, maupun internasional, justru dengan memilih lokasi ibu kota dalam konteks konteks geografis dan geostrategis sesuai dengan strategi nasionalnya.
Geostrategi Bung Karno terkait pemindahan ibu kota dalam koridor visi demikian.
Bahkan lebih dalam, mencakup dimensi simbolik. Bung Karno menilai bahwa pemindahan tersebut sebagai tindakan yang menguatkan kedaulatan Indonesia, dan menegaskan nasionalisme bangsa.
Dengan memindahkan pusat pemerintahan ke luar Pulau Jawa, Bung Karno ingin menyampaikan pesan bahwa seluruh wilayah Indonesia memiliki nilai yang sama dalam pembangunan dan pengambilan keputusan negara.
Oleh karena itu, geopolitik politik Bung Karno terhadap pemindahan ibu kota Indonesia, adalah upaya strategis yang bertujuan memperkuat kedaulatan dan integritas wilayah Indonesia.
Pada masa pemerintahan Bung Karno, begitu peduli dengan isu-isu geopolitik dan menempatkan Indonesia sebagai aktor penting dalam dunia politik global.
Maka pemindahan ibu kota menjadi salah satu kebijakan strategisnya, demi mengokohkan posisi Indonesia di kancah internasional.
Selain mencakup dimensi simbolik, dasar analisis Bung Karno untuk memindahkan ibu kota juga mencakup dimensi faktual.
Antara lain karena Jakarta terletak di daerah yang rawan bencana, seperti banjir, longsor, dan gempa bumi. Jakarta juga mengalami masalah parah terkait kemacetan lalu lintas dan urbanisasi yang tidak terkendali.
Bung Karno percaya bahwa dengan memindahkan ibu kota, Indonesia dapat mengurangi kerentanan terhadap bencana alam, dan dapat mengatasi masalah-masalah perkotaan yang ada.
Pertimbangan geografis dan lingkungan terhadap upaya pemindahan ibu kota pun memiliki dimensi politik dan ekonomi.
Bung Karno melihat pemindahan ibu kota sebagai kesempatan untuk mengembangkan wilayah lain di Indonesia, dan mengurangi ketimpangan pembangunan antara Jawa dan wilayah lainnya.
Dia ingin menggerakkan pusat-pusat pertumbuhan baru di luar Jawa, sehingga ekonomi Indonesia dapat berkembang secara merata.
Pada 1957, Bung Karno mengeluarkan Dekrit Presiden yang menyatakan bahwa ibu kota Indonesia akan dipindahkan ke Palangkaraya di Kalimantan Tengah.
Namun, rencana tersebut tidak pernah terealisasi sepenuhnya karena berbagai kendala politik dan ekonomi yang muncul pada masa itu, seperti krisis politik dan ekonomi yang diikuti oleh perubahan pemerintahan.
Memperkuat kedaulatan
Meskipun Bung Karno tidak berhasil memindahkan ibu kota saat itu, namun gagasan pemindahan ibu kota terus dibicarakan dan menjadi perhatian para pemimpin Indonesia di masa depan.
Pada 2019, Presiden Joko Widodo mengumumkan rencana pemindahan ibu kota ke wilayah timur Indonesia, yaitu Kalimantan Timur, dengan pertimbangan yang serupa seperti yang dikemukakan oleh Bung Karno.
Maka dalam konteks pemindahan ibu kota saat ini, kita dapat melihat adanya kelanjutan dari pemikiran geopolitik politik Bung Karno.
Meskipun implementasinya berbedan dan dihadapkan pada tantangan yang berbeda pula. Namun, tujuan utamanya mirip, yakni: untuk memperkuat kedaulatan, mengurangi ketimpangan regional, dan mengatasi masalah perkotaan.
Bagaimanapun pemindahan ibu kota bakal memicu pengurangan beban Jakarta. Sebagai kota terpadat di dunia, Jakarta begitu sarat kompleksitas problema mulai dari masalah kemacetan lalu lintas, polusi udara, dan banjir, serta hal-hal serius lainnya.
Maka pemindahan ibu kota dapat membantu mengurangi beban yang ditanggung oleh Jakarta, bersamaan pula mengalihkan pusat administrasi ke lokasi baru yang lebih strategis.
Selain itu juga pemindahan ibu kota akan memicu pembangunan infrastruktur yang diperlukan di wilayah baru.
Pembangunan jalan, bandara, rel kereta api, perumahan, dan fasilitas publik lainnya dapat meningkatkan konektivitas dan kualitas hidup di wilayah tersebut.
Meski demikian ada sejumlah kritik terhadap pemindahan ibu kota, harus pula diperhatikan. Antara lain kritik dan koreksi terhadap pertimbngan keuangaan: sampai sejauh manakah kemampuan keuangan negara terhadap proyek tersebut?
Bersama ini kritik yang tak kalah tajam juga harus dipertambangkan, yakni soal dampak sosial dan lingkungan dari pemindahan ibu kota.
Kita khawatir tentang perubahan dalam struktur sosial, migrasi penduduk yang besar, dan kerusakan lingkungan yang mungkin terjadi sebagai konsekuensi dari proyek tersebut tak tertangani secara tepat guna.
Dengan demikian pemindahan ibu kota diperlukan, namun harus ada kehati-hatian pula agar sistem program keberlanjutan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dapat dilanjutkan tanpa ada cedera korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Juga bangunan induk IKN harus digunakan dari APBN, bukan dari bantuan negara asing, ataupun swasta.
[KOMPAS]