ICJR: Gas Air Mata Kedaluwarsa yang Digunakan dalam Tragedi Kanjuruhan Lebih Beracun

Nasional38 Dilihat

JAKARTA, – Riset yang disusun Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) bersama Aliansi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian menyebut, penggunaan gas air mata kedaluwarsa dalam tragedi Kanjuruhan lebih beracun dan bisa berubah menjadi gas sianida.

Temuan riset ini berbanding terbalik dengan keterangan Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo yang sebelumnya mengatakan senyawa gas air mata yang kedaluwarsa menyebabkan zat kimianya semakin menurun.

ICJR membandingkan kasus serupa yang terjadi dalam aksi unjuk rasa di Venezuela 2014. Penggunaan gas air mata kedaluwarsa saat itu disangka menurunkan evektivitas gas air mata.

Namun, berdasarkan penelitian ahli kimia Monica Krauter dari Simon Bolivar University, ditemukan hal sebaliknya.

“Justru penggunaan gas air mata yang telah kedaluwarsa dapat terurai menjadi gas sianida, fosgen, dan nitrogen, membuatnya jauh lebih berbahaya dan beracun bagi manusia,” tulis riset ICJR dikutip Kompas.com, Jumat (30/6/2023).

ICJR juga menjabarkan dampak gas yang disebut menjadi perubahan wujud gas air mata yang kedaluwarsa.

Gas sianida misalnya, orang yang terpapar dalam jumlah kecil bisa saja terlarut dengan mudah oleh selaput lendir. Beda soal dengan orang yang terpapar dalam jumlah besar.

“Sel tubuh akan sulit menggunakan oksigen untuk menjalankan fungsi dan merusak berbagai organ tubuh,” tulis riset ICJR.

Kemudian, gas fosgen yang ditengarai bisa menyebabkan sesak napas, batuk, dan mengganggu fungsi jantung.

Hasil riset ini juga diperkuat dengan penelitian yang dilakukan asosiasi dokter di Kashmir, India yang menyebutkan penggunaan gas air mata kedaluwarsa bisa mengakibatkan luka bakar, gejala asma, kejang, kebutaan, dan risiko keguguran.

Riset lainnya yang memperkuat dugaan gas air mata kedaluwarsa lebih berbahaya diungkap oleh Ahl Direktur Medis di Pregon Poison Center, Dr. Rob Hendrickson.

Menurut ICJR, Rob meneliti penggunaan gas air mata kedaluwarsa yang pernah terjadi di Portland, Oregon dan menemukan hal yang sama, yaitu penggunaan gas air mata kedaluwarsa lebih berbahaya.

Ada dua alasan saat itu disebut lebih berbahaya. Pertama, mekanisme pembakaran dalam tabung kedaluwarsa dapat rusak dan menyebabkan gas keluar terlalu cepat atau pada konsentrasi yang terlalu cepat.

Kedua, komponen kimia gas dapat berubah melewati tanggal kedaluwarsa.

“Atas bermasalahnya penggunaan gas air mata oleh polisi yang berulang tersebut, sepatutnya presiden RI mengusut dan mengevaluasi penggunaan kekuatan dan tindakan kepolisian selama ini, termasuk penggunaan senjata kimia yaitu penggunaan gas air mata agar tidak lagi hal ini dianggap lazim,” tulis ICJR.

Tragedi Kanjuruhan

Tragedi Kanjuruhan merupakan tragedi sepakbola di Indonesia yang merenggut 134 korban jiwa akibat lontaran gas air mata petugas kepolisian.

Tragedi itu terjadi ketika laga Persebaya versus Arema Malang di Stadion Kanjuruhan, 1 Oktober 2022.

Usai laga, beberapa suporter Arema turun ke tengah lapangan. Kemudian para suporter dihujani tembakan gas air mata oleh petugas.

Demikian juga para penonton yang masih berada di atas tribun. Mereka turut dihujani tembakan gas air mata sehingga penonton panik ingin keluar stadion.

Nahas, beberapa pintu stadion terkunci menimbulkan kepanikan yang lebih besar. Banyak di antara penonton kemudian meninggal dunia akibat peristiwa itu.

Vonis ringan para pelaku

Lima terdakwa kasus Tragedi Kanjuruhan telah menjalani sidang vonis di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Kamis (16/3/2023).

Lima terdakwa itu yakni mantan Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi, mantan Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto, mantan Danki Brimob Polda Jatim AKP Hasdarman, mantan Security Officer Suko Sutrisno, dan mantan Ketua Panitia Pelaksana (Panpel) Arema FC Abdul Haris.

Dari lima pelaku yang diadili, dua pelaku lainnya divonis bebas yaitu Bambang Sidik Achmadi dan Wahyu Setyo Pranoto.

Sementara itu, tiga terdakwa lainnya divonis ringan yaitu Hasdarman dengan penjara 1 tahun 6 bulan.

Kemudian, Suko Sutrisno divonis 1 tahun, dan Abdul Haris mendapat vonis 1 tahun 6 bulan penjara.

[KOMPAS]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *