JAKARTA, – Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, kepemimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di bawah komando Firli Bahuri tidak bisa dijadikan teladan bagi pegawai komisi antirasuah itu.
Hal ini disampaikan peneliti ICW Diky Anandya menanggapi adanya isu pegawai KPK yang diduga menilap uang perjalanan dinas hingga menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 550 juta.
“Dugaan kasus pemotongan anggaran perjalanan dinas KPK ini semakin menambah rentetan skandal yang terjadi di bawah kepemimpinan Firli Bahuri,” kata Diky kepada Kompas.com, Rabu (28/6/2023).
Diky mengungkapkan, dari data yang dihimpun ICW, setidaknya ada beberapa kasus yang melibatkan unsur pegawai KPK sejak dipimpin oleh Firli Bahuri.
Pertama, pencurian 1,9 kg emas dari gudang barang bukti yang dilakukan oleh oknum pegawai.
Kemudian, penerimaan suap oleh pengamanan dalam (pamdal) KPK dari para tahanan KPK, salah satunya dari mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi.
Berikutnya, suap yang diterima oleh penyidik KPK, Stepahnus Robin Patuju, dari mantan Wali kota Tanjungbalai, M Syahrial.
Lalu, ada juga dugaan penerimaan gratifikasi oleh mantan Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar berupa fasilitas menonton MotoGP di Mandalika.
Bahkan, terkini adanya dugaan penerimaan pungutan liar (pungli) sebesar Rp4 miliar oleh oknum petugas KPK di bagian tahanan yang didahului adanya pelecehan terhadap istri seorang tahanan KPK.
“Kasus-kasus tersebut mengisyaratkan bahwa pimpinan KPK, terutama Firli Bahuri telah gagal menunjukkan sikap keteladanan tatkala memimpin lembaga antirasuah tersebut,” papar Diky.
Berangkat dari banyaknya permasalahan yang menderu KPK saat ini, ICW mendesak Firli Bahuri segera menanggalkan jabatannya sebagai ketua KPK.
Selain itu, kata dia, penting juga untuk dicatat bahwa buruknya wajah KPK saat ini tidak terlepas dari campur tangan Presiden Joko Widodo.
“Sehingga Presiden harus segera mengambil sikap tegas melihat persoalan KPK saat ini sebagai bentuk tanggungjawab karena secara administratif KPK berada di bawah komandonya,” kata Diky.
“Jika tidak, maka masyarakat akan semakin yakin bahwa rezim pemerintahan Joko Widodo telah berhasil meluluhlantakkan upaya pemberantasan korupsi, dan sejarah akan mencatat soal itu,” imbuhnya.
Sebelumnya diberitakan, Sekretaris Jenderal KPK Cahya H. Harefa mengatakan, angka kerugian negara Rp 550 jura itu didapatkan berdasarkan perhitungan yang dilakukan inspektorat.
“Inspektorat melakukan pemeriksaan dan penghitungan dugaan kerugian keuangan negara dengan nilai Rp 550 juta dengan kurun waktu tahun 2021-2022,” ujar Cahya dalam konferensi pers di Gedung Juang KPK, Selasa (27/6/2023).
Cahya mengungkapkan, dugaan korupsi itu terjadi di lingkup bidang kerja administrasi. Ia dilaporkan oleh atasan dan pegawai lain yang masih satu tim kerja dengannya.
Mereka mengeluhkan proses administrasi yang berlarut dan ‘menilap uang perjalanan dinas.
“Dengan keluhan adanya proses administrasi yang berlarut dan potongan uang perjalanan dinas yang dilakukan oleh oknum tersebut kepada pegawai KPK,” tutur Cahya.
Laporan tersebut kemudian ditindaklanjuti pihak Inspektorat KPK yang menjalankan fungsi pengawasan internal.
Berbekal dugaan kerugian negara Rp 550 juta itu, oknum pegawai KPK ini kemudian dilaporkan ke Kedeputian Penindakan dan Eksekusi. Ia juga dilaporkan atas dugaan pelanggaran etik ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK.
“Bersamaan dengan proses tersebut oknum sudah dibebastugaskan untuk memudahkan proses pemeriksaannya,” kata Cahya.
Sebagai informasi, belakangan KPK tengah disorot karena kasus dugaan suap, gratifikasi, atau pemerasan terhadap tahanan korupsi.
Kasus itu terungkap saat Dewas KPK memeriksa dugaan pelanggaran etik petugas rumah tahanan (Rutan) KPK berinisial M kepada istri tahanan KPK.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, pihaknya tidak hanya mendalami dugaan korupsi di rutan KPK.
Lembaga antirasuah, kata Alex, juga menyatakan “bersih-bersih”, menindak penyelewengan yang mungkin terjadi di unit lainnya.
[KOMPAS]