Imbas Peraturan KPU, Bacaleg Perempuan Dikhawatirkan Berkurang Ketika Masuk DCT

JAKARTA, – Ketua Presidium Kaukus Perempuan Parlemen 2019-2024, Diah Pitaloka mengkhawatirkan jumlah bakal calon anggota legislatif (bacaleg) perempuan berkurang pada saat penetapan daftar calon tetap (DCT) oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Sebab, menurut dia, Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 yang mengatur soal pencalonan anggota legislatif tidak memihak kebijakan afirmasi perempuan.

“Harus sekali kita cermat dan kritis,” ujar Diah dalam diskusi virtual yang diselenggarakan Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia, Selasa (20/6/2023).

“Di tengah perdebatan soal peraturan KPU (terkait afirmasi bacaleg perempuan), semua partai (mendaftarkan bacaleg perempuan) di atas 30 persen dalam DCS (daftar calon sementara) mereka. Tapi mungkin ini akan berubah ke dalam DCT,” kata dia.

Adapun partai-partai politik mendaftarkan bacaleg mereka pada 1-14 Mei 2023 ke KPU untuk diteliti.

Kini, KPU sedang melakukan verifikasi sebelum menetapkan bacaleg yang dinyatakan masuk ke DCS resmi versi KPU.

Dalam data yang dirilis KPU, 18 partai politik tingkat nasional yang mendaftarkan bacaleg mereka untuk Pileg DPR RI telah memenuhi keterwakilan perempuan di atas 30 persen secara akumulatif.

Ini menjadi dalih di balik keengganan KPU merevisi Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tadi meski sebelumnya sempat berjanji sebaliknya.

Namun, Diah beranggapan, jumlah bacaleg perempuan yang didaftarkan partai politik belum tentu seluruhnya lolos verifikasi untuk ditetapkan dalam DCS dan DCT KPU.

Kekhawatiran atas anjloknya jumlah caleg perempuan di dalam daftar calon resmi versi KPU ini dianggap menjadi ancaman serius terhadap keterwakilan perempuan di parlemen kelak.

Diah yang merupakan anggota Komisi VIII ini menilai, sudah saatnya berbagai pihak bukan cuma mengkritik KPU dan mendesak agar peraturan bermasalah itu direvisi, melainkan juga melakukan langkah-langkah konkret guna memastikan keterwakilan caleg perempuan di parlemen tidak merosot drastis.

Sebab, di samping memang momen kompetisi sudah sangat dekat, Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 itu tengah diuji di Mahkamah Agung pula.

Menurut dia, perempuan yang berjuang untuk mendapatkan kursi di parlemen harus memperoleh solidaritas untuk membangun jaringan dan perkawanan, mentoring, dan berbagi strategi.

Terlebih, menurut Diah, dengan pemilu legislatif sistem proporsional daftar calon terbuka, para caleg umumnya tidak mendapatkan nomor urut kecil yang lebih menjamin kemenangan.

Mereka harus bertarung ketat bukan hanya untuk meyakinkan pemilih, namun juga mewaspadai potensi kecurangan yang dapat menggembosi suara mereka.

“Saya rasa banyak caleg perempuan butuh dukungan moral, ataupun politik, dan ini sudah sampai ke titik kontestasi,” ujar Diah.

“Banyak teman-teman perempuan kehilangan kursi atau kesulitan menang mendapatkan kursi ketika rekapitulasi suara. Dia tidak punya jaringan yang cukup untuk bisa mengawal suaranya. Itu rekapitulasi suara waktunya cukup panjang,” kata dia.

Sebelumnya diberitakan, para aktivis gender dan kepemiluan khawatir dengan penerapan pembulatan ke bawah oleh KPU, dalam menghitung 30 persen keterwakilan bacaleg perempuan.

Pembulatan ke bawah ini dimuat dalam Pasal 8 Ayat (2) Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023.

Jika hasil perhitungan 30 persen keterwakilan perempuan menghasilkan angka desimal kurang dari koma lima, diberlakukannya pembulatan ke bawah itu.

Sebagai misal, jika di suatu dapil terdapat 8 alokasi kursi maka jumlah 30 persen keterwakilan perempuannya sama dengan 2,4.

Karena angka di belakang desimal kurang dari 5 maka berlaku pembulatan ke bawah.

Akibatnya, keterwakilan perempuan dari total 8 caleg di dapil itu cukup hanya 2 orang dan itu dianggap sudah memenuhi syarat.

Padahal, 2 dari 8 caleg setara 25 persen saja, yang artinya belum memenuhi ambang minimum keterwakilan perempuan 30 persen.

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menghitung bahwa ada sedikitnya 38 dapil atau sekitar 45 persen dari total dapil DPR RI yang bakal mengalami hal ini.

Diperkirakan, Pileg DPR RI dengan peraturan baru ini bakal melenyapkan peluang sedikitnya 684 perempuan untuk masuk Senayan. Ini baru di tingkat nasional, belum provinsi dan kabupaten/kota.

Tak heran, aturan yang ada sekarang dinilai kontraproduktif dengan segala capaian yang berhasil diraih agar penyelenggaraan pemilu lebih berperspektif gender.

Jumlah caleg perempuan, misalnya, sejak pemilu secara langsung digelar pada 2004, selalu menunjukkan tren kenaikan, berdasarkan riset Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI).

Pada 2004, capaian persentase keterwakilan caleg perempuan baru 29 persen.

Pada 2009, jumlah itu naik jadi 33,6 persen, sebelum naik lagi ke angka 37,6 persen pada 2014. Terakhir, 2019, proporsi itu semakin baik dengan adanya 40 persen perempuan.

Namun, itu bukan berarti kebijakan afirmatif ini telah berhasil sehingga dapat dihapus, sebab tingkat keterpilihan caleg perempuan belum menggembirakan.

Pemilu 2004 hingga 2019 belum berhasil mengirim 30 persen perempuan ke parlemen, melainkan hanya 11,8 persen (2004), 18 persen (2009), 17 persen (2014), dan 20 persen (2019).

Hal ini ironis sebab jumlah pemilih perempuan sejak Pemilu 2004 tak pernah kurang dari 49 persen.

[KOMPAS]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *