JAKARTA, – Pondok Pesanten (Ponpes) Al Zaytun di Indramayu, Jawa Barat, ternyata bukan kali pertama berpolemik.
Saat pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2004, terjadi mobilisasi massa dan penggelembungan suara di tempat pemungutan suara (TPS) di ponpes itu. Tak ayal, peristiwa ini mencoreng gelaran Pemilu 2004
Laporan Harian Kompas 7 Juli 2004 menyebutkan setidaknya ada penggelembungan suara di 83 TPS di Ponpes Al Zaytun.
Selain itu, rekaman video yang ditunjukkan Panitia Pengawas Pemilu (Panwas) memperlihatkan adanya pengumpulan massa dengan menggunakan kendaraan menuju ke ponpes.
Video itu menampilkan gambar ratusan bus besar Bianglala, puluhan mini bus bertuliskan Mabes TNI serta beberapa kendaraan pribadi berpelat nomor Jakarta (B).
Diperkirakan kendaraan yang datang ke wilayah Ponpes Al Zaytun itu berjumlah sekitar 519 mobil.
Rekaman itu juga menunjukkan betapa canggihnya TPS-TPS di sekitar ponpes itu. TPS itu dilengkapi dengan pesawat telepon dan komputer.
Rekaman gambar juga memperlihatkan pengusiran salah satu anggota Panwas yang ingin masuk ke TPS tetapi diusir oleh seorang anggota KPPS dan anggota hansip.
Menurut Ketua Panwas Kecamatan Gantar, Sudirman Gandaatmadja, para saksi dari empat tim pasangan capres-cawapres tidak diperbolehkan masuk untuk mengikuti jalannya pemilu di TPS.
Salah seorang anggota Panwas saat itu, Topo Santoso, mengatakan kasus Indramayu tersebut cukup unik dan mungkin kasus yang paling besar pada Pemilu 2004 ini.
“Dari informasi yang kami peroleh, massa berasal dari daerah-daerah yang jauh dari Indramayu, bahkan ada yang dari Batam,” kata Topo.
Hal paling penting untuk diklarifikasi ke KPU Kabupaten Indramayu adalah jumlah TPS sebanyak 83 di ponpes tersebut apakah sah atau tidak, karena di 83 TPS itu mencakup 24.000 pemilih.
Lebih lanjut, Topo menjelaskan, pada saat pemilu legislatif, pemilih yang terdaftar di ponpes hanya 5.000 pemilih kemudian melonjak menjadi 13.000 pemilih saat pendaftaran pemilih pemilu presiden.
Selanjutnya, hari H pencoblosan pemilu presiden suara pemilih menjadi 24.000. Hasil di TPS tersebut calon presiden dari Partai Golkar Wiranto lebih unggul dari empat capres lainnya.
Dari total jumlah pemilih sebanyak 24.843 pemilih, WirantoûWahid memperoleh 24.794 suara atau 99,8 persen.
“Maka itu menjadi suatu problem serius dikaji secara hukum. Dalam UU Pemilu dijelaskan, satu desa hanya mempunyai satu PPS. Nah, dengan pemilih yang begitu banyak, apakah di situ berdiri satu PPS khusus, karena di UU tidak dikenal dan PPS khusus hanya di RS atau rutan. Ini perlu kami kaji kembali,” jelas Topo.
“Dari mana suara itu melonjak begitu tinggi, apakah pemilih itu sah atau tidak, memang penduduk di situ atau bukan, akan kami kaji dengan Panwas kabupaten dan provinsi,” katanya.
Menurut Ketua Panwas Pemilu Jawa Barat kala itu, Adjat Sudradjat, sekitar 24.000 orang terdaftar sebagai pemilih di Ponpes Al Zaytun. Padahal, penghuni ponpes tersebut hanya sekitar 5.000 orang.
Wakil Ketua KPU Jawa Barat, Ferry Kurnia, juga mengatakan adanya kemungkinan untuk mengadakan penyelidikan. KPU Jawa Barat juga sudah mengirimkan surat kepada Panwas sehubungan dengan kasus tersebut.
Dalam surat itu memang disebutkan adanya kejanggalan karena jumlah pemilih di Ponpes Al Zaytun yang melebihi jumlah pemilih di suatu desa.
Pimpinan Ponpes Al Zaytun Panji Gumilang mengelak bahwa telah terjadi mobilisasi massa di ponpesnya untuk memenangkan salah satu pasangan capres-cawapres.
[KOMPAS]