Proposal damai terkait perang Rusia-Ukraina menjadi perbincangan usai Menteri Pertahanan Indonesia Prabowo Subianto turut melempar usulan damai.
Usulan Prabowo terlontar saat ia pidato di pertemuan antar Menhan Shangri-La Dialogue, Singapura, pada pekan lalu. Di kesempatan itu, beberapa poin yang ia sarankan yakni gencatan senjata, dan referendum di wilayah yang disengketakan.
Ukraina menolak mentah-mentah dan menyatakan usulan itu lebih mirip perspektif Rusia. Proposal damai terkait perang bukan kali pertama diusulkan.
Namun, hingga sekarang belum ada proposal damai yang diterima Rusia dan Ukraina. Ini menunjukkan proses damai sampai usulan diterima begitu sulit.
Mengapa demikian?
Pengamat hubungan internasional dari Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS), Waffaa Kharisma, mengatakan sejauh ini belum ada yang betul-betul menjadi proposal perdamaian konkret.
“Masing-masing proposal lebih kepada mewakili posisi nasional masing-masing negara yang berbicara,” ujar Waffaa kepada CNNIndonesia.com, Kamis (8/6).
Sejauh ini terdapat sejumlah negara yang mengajukan proposal damai, di antaranya China, Brasil, hingga Afrika. Namun, belum ada usulan yang diterima kedua pihak.
China disebut-sebut bakal berhasil mengajukan proposal damai itu. Rusia menyambut baik, dan Ukraina masih pikir-pikir.
Poin-poin yang tercantum dalam proposal China berisi nilai-nilai dan posisinya terhadap perang di Ukraina. Beijing, lanjut Waffaa, hanya akan mendukung upaya yang sesuai dengan poin di dalam proposal mereka.
“Tapi dia tidak berisi jalan atau pathway [semacam peta jalan]. Ke depan harus ngapain, tahun depan keduanya harus apa? Setelah itu, keadaan seperti apa yang perlu didahulukan dan bagaimana caranya,” ujar dia.
Peta jalan semacam itu tak terjawab di dalam proposal China, lanjut Waffaa.
Ia lantas menyoroti usulan Prabowo dan proposal lain yang dianggap tidak realistis untuk kondisi saat ini.
“Sulit proposal damai diterima karena batas bawahnya belum ketemu. Mereka bicara belum satu bahasa,” kata dia.
Pengamat CSIS itu lalu menerangkan, proposal damai baru bisa diterima ketika semua pihak sudah lelah dan sudah sama-sama mengarah ke penghentian perang. Setidaknya di kepemimpinan kedua negara.
Misalnya, kata dia, masyarakat Rusia sudah marah karena capek dan Ukraina di titik lelah dan berpikir harus segera diakhiri.
“Nanti ketika titik itu sampai, saat itu dilihat di mana posisi perangnya. Proposal damainya nanti kalau mau menghentikan perang harus bicara terkait penyelesaian wilayah dan konsesi [persetujuan] apa yang sesuai dengan kedua pihak,”ucap Waffaa.
Menurut dia, saat ini belum ada pihak yang bersedia memberi konsesi. Usulan damai, kata Waffaa, harus berisi konsesi kedua pihak seputar topik utama atas perang.
“Wilayah siapa milik siapa dan jaminan keamanan apa yang bisa dimiliki oleh siapa,” ujar pengamat itu.
Lanjut baca di halaman berikutnya…
[CNN]