Oleh : Ruslan
Mahasiswa Ilmu Politik UBB, Peserta program magang kolaboratif CitRes DPP UGM, Ilmu Politik UBB, dan Geografi NTNU Norwegia
Konflik antara industri sawit dan masyarakat lokal telah menjadi perdebatan yang kompleks. Peristiwa konflik warga versus perusahaan di Belitung beberapa waktu belakangan merepresentasi tentang buruknya hubungan warga dan perusahaan dalam tata kelola bisnis perkebunan kepala sawit selama ini. Pemerintah daerah juga terkesan begitu tidak begitu berdaya menghadapi kuat dan dominannya posisi perusahaan dalam mengembangkan bisnis perkebunan skala besar mereka. Terkesan posisi publik lemah dalam arus pertarungan warga untuk memperjuangkan ruang hidup sosial dan ekonomi mereka di hadapan perusahaan sawit yang sudah mendapatkan restu para pejabat di pusat dan di daerah yang kerapkali terkesan tidak partisipatif dan koruptif.
Padahal, pengembangan perkebunan sawit sering kali memunculkan berbagai isu terkait lingkungan, hak asasi manusia, dan ekonomi lokal. Dalam konteks ini, diperlukan pendekatan yang berfokus pada dialog terbuka antara semua pihak yang terlibat. Pentingnya melibatkan masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan terkait pengembangan perkebunan sawit tidak dapat diabaikan. Perlu dilakukan upaya untuk memahami aspirasi, kebutuhan, dan keprihatinan mereka.
Dengan menerapkan prinsip-prinsip keadilan sosial dan partisipasi aktif, konflik dapat diatasi melalui konsensus dan kesepakatan bersama. Selain itu, pengembangan perkebunan sawit juga harus mempertimbangkan dampak lingkungan. Upaya untuk mengurangi deforestasi, kehilangan habitat, dan dampak lainnya harus menjadi bagian integral dari rencana pengembangan. Teknologi berkelanjutan dan praktik ramah lingkungan harus diutamakan untuk menjaga keseimbangan antara ekonomi dan ekologi. penting untuk menggaris bawahi perlunya keterlibatan pihak berwenang, perusahaan sawit, masyarakat lokal, LSM, dan ahli lingkungan dalam membangun solusi berkelanjutan.
Komunikasi Harmonis Publik vs Perusahaan
Dengan komunikasi yang baik dan komitmen untuk bekerja sama, konflik antara industri sawit dan masyarakat lokal dapat diubah menjadi peluang untuk pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Negara memberikan izin legal kepada perusahaan untuk beroperasi, tapi hak-hak masyarakat dan wilayah adat terkesan tidak diakui bahkan diabaikan oleh negara dan pihak perusahaan. Padahal masyarakatlah yang puluhan tahun telah menempati wilayah adat itu. Begitu juga dengan kasus konflik yang terjadi perusahaan sawit PT. FoForesta lestari Dwikarya yang ada di Membalong Belitung. Beberapa kegelisan warga yang sempat mengemuka misalnya, mereka merasa rumah dan ruang hidup mereka dimasuki pendatang dari luar kampung, lalu mendapatkan konsesi HGU dan sebagainya untuk berbisnis dan berkebun sesuka hati. Bagi warga apa bedanya dengan para pencuri yang tidak tahu diri. Kesan yang ada selama ini warga yang melawan dan menuntut perusahaan, lalu dikriminalisasi oleh perusahaan bersama aparat kepolisian. Gambaran ini terkesan wargalah yang menjadi pihak wargalah yang bersalah dan menggangu perusahaan. Akibatnya ada 11 warga yang dipenjara akibat dari tidak pernah digubrisnya jerita hati rakyat di Membalong Belitung atas kesewenang-wenangan perusahaan selama puluhan tahun ini berbisnis kebun kelapa sawit skala besar.
Terkesan perkebunan skala warga dan diolah selama puluhan bahkan ratusan tahun oleh warga dengan berbagai jenis tanaman khas Bangka Belitung, tidak berarti apa-apa bagi perusahaan, bahkan dianggap tidak menyumbang pajak bagi negara. Tentu inilah salah satu potret kesesatan berpikir yang disesalkan publik. Padahal publik selama justru punya cara tersendiri untuk mengelola hutan dan lahan mereka secara arif dan penuh dengan ragam kearifan lokal, lalu distribusi keuntungan dan peran antar warga desa begitu harmonis dan merata. Pasar dan daya beli masyarakatpun menjadi stabil, setidaknya menjauhkan diri dan warga sekitar dari perangkap kemiskinan sudah cukup mampu berjalan dengan kondisi sosial-ekonomi warga Belitung selama puluhan tahun ini.
Ada ketegangan dan ketidakharmonisan yang selama ini dirasakan warga dalam banyak pengalaman warga ketika berinteraksi dengan perusahaan. Mulai dari pelit dan penuh perhitungannya perusahaan ketika ada warga yang mengajukan permohonan dana untuk bisa dimanfaatkan dalam berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Hampir sebagian besar ajuan dan permohonan warga melalui proposal dan sebagainya tidak begitu dipedulikan pihak perusahaan, bahkan pernah sekali ketika kelompok masyarakat desa mengajukan proposal beberapa juta rupiah, lalu yang diberi hanya sebesar 300 ribu rupiah untuk kegiatan sosial. Bisa dibayangkan sebenarnya bagaimana pelit dan buruknya bentuk perhatian dan kepedulian perusahaan terhadap warga lokal selama ini.
Menanti Keadilan bagi 11 Warga Belitung
Kini ada 11 warga ditetapkan sebagai tersangka yang diduga melakukan tindak pidana pembakaran dan pengeroyokan terhadap pelapor dan gedung Kantor Tanjung Rusa Estate PT Foresta Lestari Dwikarya, di Kecamatan Membalong, Kabupaten Belitung. Bagi warga itu adalah puncak kegelisahan, kemarahan dan kesabaran warga lokal yang semenjak perusahaan menginjakkan kakinya di Belitung.
Masyarakat selalu di posisi dirugikan, dituduh mencuri, menghalang-halangi, padahal mereka telah dirampok habis-habisan, dibiarkan menderita, bahkan dipenjara. Dan perampokan ini dilegalkan oleh pemerintah sehingga pengusaha bisa berbuat semaunya di wilayah Masyarakat lokal Membalong Belitung.