JAKARTA, – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sampai saat ini masih menunggu Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset disahkan.
Juru Bicara Penindakan dan Kelembagaan KPK Ali Fikri mengatakan, pemiskinan merupakan hal yang paling menakutkan bagi para koruptor.
Karena itu, KPK tidak hanya menuntut pengadilan menjatuhkan hukuman pidana badan bagi para terdakwa korupsi. Lembaga antirasuah juga meminta harta mereka yang berasal dari korupsi dirampas.
“Sementara ini kita masih menunggu disahkannya undang-undang perampasan aset hasil pidana,” kata Ali kepada wartawan, Jumat (30/6/2023).
Menurut Ali, sejauh ini KPK telah menyita berbagai aset para koruptor. Salah satu di antaranya dengan menetapkan para koruptor sebagai tersangka dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Menurut Ali, sepanjang semester pertama 2023, KPK telah menyetorkan uang Rp 154 miliar ke negara yang berasal dari sitaan dan rampasan hasil korupsi.
Juru Bicara berlatar belakang jaksa tersebut memastikan, semua kasus korupsi yang ditangani KPK akan mengarah pada TPPU.
“Akan selalu dicari dan kemudian dikumpulkan alat buktinya terkait dengan tindak pidana pencucian uang,” tutur Ali.
Sebelumnya, keberadaan RUU Perampasan Aset disorot dan dipandang penting untuk segera disahkan.
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebut, RUU itu sangat dibutuhkan untuk mencegah korupsi.
Salah satunya agar pemerintah bisa merampas aset koruptor sebelum putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Jika RUU itu disahkan, negara bisa menyelamatkan aset yang dikorupsi.
“Kalau boleh perampasan aset kan bisa diselamatkan. UU ini sudah disampaikan ke DPR, belum disetujui,” kata Mahfud setelah melakukan kunjungan ke panti asuhan Bina Siwi Pajangan, Bantul, Jumat (3/2/2023).
Namun, sudah lewat enam kali sidang paripurna sejak Surat Perintah Presiden (Surpres) diserahkan pemerintah pada 4 Mei 2023, DPR belum juga membahas RUU Perampasan Aset.
[KOMPAS]