JAKARTA, – Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraeni berharap Komisi Yudisial turun tangan soal putusan teranyar Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus).
Dalam putusan atas gugatan 757/Pdt.G/2022 yang dilayangkan Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) atas KPU pada 8 Desember 2022 lalu, PN Jakpus memerintahkan “tidak melaksanakan sisa tahapan pemilu” dan “melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama 2 tahun 4 bulan dan 7 hari”, yang berimbas pada penundaan pemilu.
“Ini aneh langkah menunda pemilu via upaya perdata di pengadilan negeri. Komisi Yudisial mestinya proaktif untuk memeriksa majelis pada perkara ini,” ujar Titi kepada wartawan, Kamis.
“Sebab ini putusan yang jelas menabrak konstitusi dan juga sistem penegakan hukum pemilu dalam UU Pemilu,” pungkasnya.
Pakar hukum kepemiluan Universitas Indonesia ini menegaskan bahwa sistem penegakan hukum pemilu Indonesia tidak mengenal mekanisme perdata melalui pengadilan negeri untuk menyelesaikan keberatan dalam pendaftaran dan verifikasi partai politik peserta pemilu.
Dalam Pasal 470 dan 471 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017, sudah diatur saluran-saluran yang bisa ditempuh untuk mewujudkan keadilan pemilu.
PRIMA sebelumnya menganggap KPU telah bertindak tak profesional, yang menyebabkan mereka dianggap gagal memenuhi syarat keanggotaan partai politik calon peserta Pemilu 2024 dalam tahapan verifikasi administrasi.
Hal ini membuat mereka gagal melaju ke tahapan verifikasi faktual sebagai partai politik peserta Pemilu 2024.
“Saluran yang bisa ditempuh partai politik hanyalah melalui sengketa di Bawaslu dan selanjutnya upaya hukum untuk pertama dan terakhir kali di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN),” jelas Titi.
“Jadi bukan kompetensi PN Jakpus untuk mengurusi masalah ini apalagi sampai memerintahkan penundaan Pemilu ke 2025,” ia menambahkan.
Terlebih, putusan PN Jakpus ini akan bertabrakan dengan amanat Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa pemilu dilaksanakan secara berkala 5 tahun sekali.
“Putusan pengadilan jelas tidak bisa bertentangan dengan UUD 1945,” kata Titi.
“PN yang memerintahkan penundaan pemilu sampai 2025 merupakan pelanggaran terbuka terhadap amanat Konstitusi. Isi putusan yang aneh, janggal, dan mencurigakan,” jelasnya.
Sementara itu, KPU RI tegas menyatakan bakal banding atas putusan PN Jakpus. Koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu KPU RI, Idham Holik, menyinggung bahwa Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tengang Pemilu hanya mengatur kemungkinan pemilu lanjutan dan pemilu susulan.
Keduanya dimungkinkan terjadi apabila terjadi kerusuhan, bencana alam, gangguan keamanan, maupun gangguan lain yang menyebabkan tahapan pemilu tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna.
Pemilu lanjutan dilaksanakan apabila gangguan-gangguan tersebut membuat pelaksanaan tahapan penyelenggaraan pemilu tidak dapat dilakukan sebagian.
Sementara itu, pemilu susulan merupakan mekanisme apabila gangguan-gangguan tersebut membuat pelaksanaan tahapan penyelenggaraan pemilu tidak dapat dilakukan seluruhnya.
“Dalam peraturan penyelanggaraan pemilu, khususnya Pasal 431 sampai Pasal 433 (UU Pemilu), itu hanya ada dua istilah yaitu pemilu lanjutan dan pemilu susulan,” ujarnya, Kamis sore.
Argumen ini juga pernah disampaikan KPU ketika PRIMA dan sejumlah partai politik lain yang tak lolos sebagai peserta Pemilu 2024 membentuk aliansi bernama “Gerakan Melawan Political Genocide”.
Gerakan yang mayoritas berisi partai-partai yang tidak lolos tahap pendaftaran 15 Agustus 2022, yakni Partai Masyumi, Perkasa, Pandai, Kedaulatan, Reformasi, Pemersatu Bangsa, dan Berkarya, serta Partai Republik Satu dan PRIMA yang tak lolos verifikasi administrasi 14 Oktober 2022 itu mendesak tahapan Pemilu 2024 dihentikan karena merasa dicurangi.
Partai-partai politik tersebut sempat menggugat KPU ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI atas tidak lolosnya mereka, namun Bawaslu menyatakan KPU tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran administrasi pemilu yang menyebabkan partai-partai politik itu gagal melaju sebagai peserta Pemilu 2024.
[KOMPAS]