Pilkada Damai itu, Dimulai Dengan Calon yang Baik, Bukan yang Banyak Masalah


• Opini

• Oleh Nastazia

• Penulis adalah Alumni Fisipol UBB

Pilkada Damai itu, Dimulai Dengan Calon yang Baik, Bukan yang Banyak Masalah

Pilkada yang damai…

Negeri Serumpun Sebalai ini, sejak era reformasi tahun 1998, tercatat sebagai daerah yang paling kondusif, khususnya terkait gonjang ganjing Pilkada. Ujaran “dek Kawa nyusah” bisa jadi menjadi salah satu motivasi yang sehingga Provinsi Bangka Belitung ini tentram dan damai. Belum ada sejarah konflik berlatar belakang perbedaan pandangan dalam Pemilu atau Pilkada yang berujung konflik antar pendukung hingga berakhir pada kerusuhan.

Artinya, sejauh ini potensi Pemilu Damai di Babel tumbuh sebagai kultur. Karena memang orang Bangka Belitung terbiasa, secara turun temurun hidup berdampingan dalam komposisi demografi yang heterogen.

Jika pun ada catatan konflik, itu dalam skala kecil atau antar personal, dan kebanyakan lebih dalam bentuk ‘perang udara’ seperti adu argumen di platform media sosial.

Lagi pula sejak dulu, para calon senantiasa menghimbau atau mengajak masyarakat untuk menjaga atau menciptakan Pilkada atau Pemilu damai, lebih kepada ujaran remeh temeh, kalimat yang diselipkan di antara janji politik, atau program-program yang terkadang bahkan jauh dari implementasi. Kalimat ajakan menjaga kondusifitas Pilkada atau Pemilu lebih kepada biar terlihat agar sang calon orang bijak.

Padahal jika para calon peserta tersebut benar-benar bijak, maka mereka akan lebih tau diri mengukur dirinya. Atas keberhasilan selama kepemimpinan nya, atas suksesnya program atau janji-janji politiknya. Bukan dari pencitraan, membangun janji-janji atau program baru, untuk menutupi kegagalan di masa sebelumnya.

Jika dilihat dari psikologis masyarakat Bangka Belitung saat ini, optimisme insyaallah terbangun dengan sendirinya untuk mewujudkan Pilkada yang damai. Justru jika ada kandidat yang melemparkan ajakan Pemilu Damai, jangan menyebarkan hoax, jangan kampanye hitam dan sebagainya, terkesan kehilangan narasi.

Justru, Pilkada Damai itu…

Harus dimulai dari peserta atau para calon kepala daerahnya adalah orang-orang baik dengan rekam jejak yang baik. Jika dia adalah seorang petahana, maka program-programnya berhasil dan tidak meninggalkan masalah, seperti perkara korupsi atau perbuatan pidana.

Keadaan ini sangat korelatif, karena calon yang memiliki rekam jejak yang baik, maka dirinya tak begitu sibuk menepis kampanye negatif yang menyerang dirinya. Beda halnya jika calon tersebut memang memiliki banyak masalah, maka dirinya akan disibukkan dengan pembelaan, dan cenderung memutar balikkan fakta. Dengan mengkampanyekan anti hoax.

Pilkada damai itu…

Akan terwujud jika, calon yang maju dalam pilkada tidak ambigu dalam ucapan, perbuatan dan kenyataan. Misalnya calon kepala daerahnya mengaku sudah mendapat rekomendasi partai PKS, ternyata dibantah dan terbukti hoax. Atau mengaku dalam pemberitaan sudah dapat rekomendasi dari partai nya sendiri, ternyata masih belum atau masih mengupayakan. Itu namanya hoax. Bagaimana mungkin rakyat bisa diajak untuk tidak membuat hoax, jika calon nya sendiri tukang hoax. Lucunya sang calon sibuk amplifikasi mengajak jangan menyebar hoax. Nah situasi ini justru dapat memicu situasi yang tidak kondusif, dan mengancam kedamaian Pilkada. Tak mampu membedakan kampanye hitam dan kampanye negatif. Padahal jelas, bahwa perbuatan menyebar sesuatu yang hoax apalagi menyerang martabat orang, bisa dikenakan pasal pencemaran atau ITE.

Namun karena yang diberitakan bukan lah hoax, tak mungkin untuk dilaporkan. Hasilnya playing victim dan menyerang balik dengan sebutan fitnah, tuduhan tak berdasar atau hoax. Justru di sinilah para calon peserta Pilkada terkadang seperti berkelit dari fakta.

Tapi kita patut apresiasi ajakan salah satu calon yang mengajak menjaga kondusifitas Pilkada 2024 mendatang. Namun apresiasi nya akan lebih jika sang calon lebih jujur soal konfirmasi wartawan terkait keterlibatannya dalam berbagai masalah hukum, masalah Tipikor termasuk masalah program yang gagal. Bukan lantas membangun kontra opini seolah-olah menjadi seorang korban fitnah atau korban black campaign berbau hoax.

Basi…!!! (***)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *