Pada Selasa (27/6), Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan peluncuran atau kick off implementasi rekomendasi Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (TPP HAM) Berat Masa Lalu di Rumoh Geudong, Pidie, Aceh.
Kick off ini diinisiasi oleh Ketua Pengarah TPP HAM sekaligus Menko Polhukam Mahfud MD.
Rumoh Geudong dipilih jadi lokasi kegiatan kick off karena sejumlah alasan. Salah satunya karena dianggap jadi simbol kekerasan saat Aceh ditetapkan sebagai daerah operasi militer (DOM).
Rumah Geudong merupakan bukti sejarah penyiksaan terhadap masyarakat Aceh yang dilakukan aparat TNI dan Polri selama masa konflik Aceh (1989-1998). Kala itu, Rumoh Geudong menjadi basis Pos Satuan Taktis dan Strategis (Pos Sattis) selama masa DOM di Aceh.
Kejahatan kemanusiaan itu setidaknya mengakibatkan 109 penduduk sipil diduga disiksa dan 74 perempuan diperkosa. Laporan juga menyebutkan, setidaknya terdapat sembilan orang dibunuh di Rumoh Geudong dan delapan orang lainnya tidak pernah kembali ke keluarganya.
Peristiwa Rumah Geudong itu kemudian menjadi salah satu dari 12 pelanggaran HAM berat yang diakui negara melalui Jokowi pada Januari lalu.
Namun, jelang seremoni kegiatan kick off, sisa-sisa bangunan Rumoh Geudong dihancurkan sejak Selasa (20/6). Penghancuran bangunan di sekeliling Rumoh Geudong itu rencananya dialihfungsikan untuk bangunan masjid.
Saat ini hanya tersisa tangga yang terbuat dari semen. Tangga ini diyakini sebagai tempat naik ke lantai Rumoh Geudong.
Juru Bicara Pemerintah Aceh, Muhammad MTA mengatakan, bekas tangga Rumoh Geudong akan dijadikan monumen sebagai salah satu bentuk penyelamatan situs tragedi pelanggaran HAM.
Mahfud juga memastikan bangunan yang tersisa seperti tangga dan dua sumur di lokasi Rumoh Geudong tidak akan dihancurkan.
“Loh, ya akan disisakan tak diratakan, itu kan masih ada tangga sama sumur dua,” kata Mahfud MD kepada wartawan saat meninjau lokasi Rumoh Geudong, Pidie, Senin (26/6).
Pembongkaran dikecam
Direktur LSM Paska Aceh Farida Haryani mengaku menyesalkan penghancuran sisa bangunan Rumoh Geudong. Menurutnya, penghancuran bangunan Rumoh Geudong merupakan upaya penghilangan barang bukti dan pengaburan sejarah.
“Penghancuran tersebut merupakan upaya penghilangan barang bukti, pengaburan kebenaran, penghapusan sejarah dan memori kolektif rakyat Aceh atas konflik di Aceh sejak tahun 1976 hingga 2005,” kata Farida dalam keterangannya.
Organisasi Amnesty International Indonesia (AII) juga menyesali langkah pemerintah meratakan bangunan yang menjadi lokasi pelanggaran HAM berat di Pidie tersebut. Direktur Eksekutif AII Usman Hamid mempertanyakan keseriusan negara dalam merawat sejarah dan pelanggaran HAM berat di Aceh.
Sementara itu, Penjabat Bupati Pidie Aceh Wahyudi Adi Siswanto menyebut perobohan sisa bangunan Rumoh Geudong yang jadi tempat penyiksaan dan pembunuhan warga saat konflik dulu merupakan inisiatif dari Pemkab Pidie, Aceh.
Menurutnya hal itu dilakukan untuk menghilangkan dendam agar generasi muda berikutnya di wilayah itu tidak larut dalam kesedihan atas peristiwa masa lalu. Ia juga mengerti bakal ada pro dan kontra saat perobohan sisa bangunan yang menjadi tempat pelanggaran HAM berat itu.
“Pro kontra itu pasti terjadi, jadi kalau kita bicara HAM jangan sampai menyisakan generasi pelanggar HAM, jadi perobohan ini dalam rangka menghilangkan dendam,” kata Wahyudi yang juga menjabat sebagai Direktur Perencanaan Pengendalian Kegiatan Operasi BIN, Jumat (23/6).
Sejumlah korban tak terdata
Selain itu, Mahfud MD membenarkan masih ada korban Pelanggaran HAM Berat di Peristiwa Rumoh Geudong yang belum terdata. Menurut dia, data yang masuk ke TPPHAM merupakan laporan dari Komnas HAM dan divalidasi oleh tim yang bekerja. Namun, ia memastikan data saat ini masih tahap pertama.
Direktur LSM Paska Aceh Farida Haryani yang ditunjuk sebagai pendamping korban Pelanggaran HAM Berat peristiwa Rumoh Geudong juga mempertanyakan soal data tersebut.
Padahal, kata dia, mereka sudah menyerahkan 53 korban hasil pendataan bersama Komnas HAM dan seluruhnya sudah selesai berita acara pemeriksaan (BAP). Namun menjelang kick off, hanya 26 orang dari data itu yang diambil, sisanya mereka tidak mengenali.
“Data kita 53. Tapi 26 yang sesuai, sementara sisanya entah dari mana mereka dapatkan,” kata Farida kepada wartawan.
Bahkan ada seorang korban kekerasan seksual hingga fisik rumahnya persis di samping Rumoh Geudong tidak menerima bantuan sembako yang telah diberikan pada pekan lalu. Justru yang mendapat bantuan sembako tersebut yaitu warga yang umurnya masih muda yang tak terdata saat konflik terjadi.
Farida mengaku hingga kini banyak ahli waris penerima bantuan yang menghubungi pihaknya karena nama-nama orang tua mereka tidak masuk dalam pendataan.
[CNN]