Semiotika Ganjar, Atikoh, dan Alam

Nasional57 Dilihat

Jangan berubah, apapun yang terjadi. Saya ingin melihat Alam seperti yang saya dengar malam hari ini.”

KALIMAT di atas diucapkan Rosianna Silalahi saat menutup acara yang dipandunya di Kompas TV, Kamis (21/09/2023) pukul 20.30 WIB.

Saat itu acara yang diberi titel ROSI menghadirkan Ganjar Pranowo bersama istrinya, Siti Atikoh, dan anaknya, Muhammad Zinedine Alam Ganjar.

Keluarga bakal calon presiden PDI Perjuangan itu dihadirkan pada acara ROSI usai menunaikan ibadah umrah, pasca-Ganjar purna tugas sebagai gubernur Jawa Tengah.

Sudah pasti menarik dan menyedot perhatian publik. Terbukti, hingga kolom ini saya tulis, episode “Ganjar, Atikoh, dan Alam” telah ditonton sebanyak 433.204 kali.

Belum potongan-potongan video dari episode tersebut yang dialihubah ke dalam berbagai format digital media sosial oleh berbagai kalangan.

Tak ada yang tak menarik dari para petinggi dan keluarganya, apalagi kelas presiden atau calon presiden. Semua hal terkait mereka pasti menyedot perhatian publik. Mereka adalah sumber berita, sumber gosip, tak jarang disertai intrik pula.

Publik akan selalu meneropongnya, membincangkannya, menggunjingkannya. Ada dua macam: dicaci atau dipuji.

Mengapa? Karena di tangan mereka ada kekuasaan. Kekuasaan lah pangkal tolaknya. Kekuasaan bisa mengubah segalanya.

“Jangan berubah…,” kata Rosianna Silalahi. Pesan moral yang perlu diamini. Tapi, tentu saja menguji siapapun para penggenggam kekuasaan dan orang-orang di sekitarnya.

Keautentikan

Saya berusaha cermat mengikuti ROSI episode “Ganjar, Atikoh, dan Alam”. Dari sana saya membaca “keautentikan” Ganjar, Atikoh, dan Alam.

Cara Rosianna bertanya dan menggali informasi membuat Ganjar, Atikoh, dan Alam memberikan jawaban-jawaban yang autentik, spontan dan mengalir apa adanya.

Saya membaca kesan harmoni dan relasi yang penuh perhatian di antara mereka. Yang bukan dibuat-buat karena tampil di media publik, atau sekadar untuk menggantikan sesuatu yang hilang karena kesibukan keluarga pejabat tinggi.

Di antaranya tampak dari bagaimana Atikoh, ibunda Alam Ganjar, mengajarkan kesederhanaan dan adab untuk menghormat kepada orang lain.

Atikoh mencontohkan soal sepatu, tas sekolah, bekal makan siang Alam di sekolah yang harus dijinjingnya sendiri.

Atikoh juga melarang sopir membukakan pintu buat Alam Ganjar saat mengantarnya ke sekolah, atau sekadar membawakan tasnya.

Sang ibu juga meluangkan waktu menemani Alam belajar. Bahkan, membuatkan soal-soal latihan bagi putra semata wayangnya di tengah kelelahan dirinya.

Tak perlu keistimewaan buat seorang anak gubernur. Meski keistimewaan itu melekat pada kekuasaan sang ayah.

Jabatan dan kekuasaan tak selamanya dimilikinya. Dan, kini terbukti. Secara berkelakar, Alam pun menyebut ayahnya yang purna tugas sebagai “pengangguran&rd[KOMPAS]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *