Twitter Pernah Picu Banyak Revolusi, Chaos Ala Elon Musk Bikin Redup?

Twitter pernah menjadi sarana pemicu revolusi di beberapa tempat. Sayangnya, kepemimpinan Elon Musk dianggap membuat hal tersebut luntur.

Ketika Arab Spring 2011 terjadi di Mesir, para aktivis memanfaatkan Twitter untuk menggalang gerakan mereka. Beberapa bulan kemudian, gerakan Occupy Wall Street juga memanfaatkan platform itu untuk mengoordinasikan protes di New York.

Pada 2014, Twitter juga menjadi sarana percakapan publik seputar topik Black Lives Matter usai pembunuhan Michael Brown. Hal yang sama terulang pada 2020 ketika George Floyd dibunuh.

“Anda tidak bisa meremehkan dampak Twitter terhadap pergerakan sosial,” kata Manajer Kebijakan dan Riset Gerakan Movement for Black Lives Amara Enyia.

Sayangnya dilansir dari CNN, akuisisi Twitter oleh Elon Musk justru membawa Twitter ke dalam chaos karena beberapa kebijakannya.

Salah satunya adalah soal centang biru yang kini berbayar, yang membuat banyak akun meniru akun resmi seperti milik pemerintah.

Padahal menurut Rachel Kuo, assistant professor of media and cinema studies University of Illinois, Urbana-Champaign, mTwitter membuat para aktivis punya akses langsung ke pembuat kebijakan.

Kuo menyebut sebelum era Twitter hal itu tidak dimungkinkan. “Ada isu saat ini soal bagaimana orang-orang melihat Twitter sebagai sumber informasi dan sumber untuk komunitas politik,” kata Kuo.

“Twitter tidak lagi dilihat sama seperti dahulu,” kata dia menambahkan.

Lebih lanjut, Twitter saat ini juga dilanda PHK dan banyak masalah teknis yang membuat para penggunanya frustrasi. Orang-orang juga menyebut kolom “For You” yang kini ada justru menunjukkan konten yang tak menarik bagi pengguna.

Hal tersebut membuat beberapa pengguna memilih meninggalkan Twitter. Diperkirakan lebih dari 32 juta pengguna diproyeksikan keluar usai dua tahun akuisisi Elon Musk.

Dengan lebih sedikitnya pengguna, Twitter menjadi kurang tersentralisasi dan lanskap informasi pun menjadi lebih terpecah, kata Sarah Aoun, periset bidang privasi dan keamanan.

Itu mempersulit para aktivis untuk terhubung, bertukar taktik, dan membangun solidaritas seperti dulu.

Di sisi lain, pendekatan Musk soal moderasi konten membuat Twitter menjadi lingkungan yang rentan terutama untuk orang-orang termajinalisasi.

Selain itu, Center for Countering Digital Hate and Anti-Defamation League mengindikasikan peningkatan ujaran kebencian di Twitter di bawah kepemimpinan Musk.

“Kurangnya verifikasi, eksodus massal, ketidakmampuan untuk mengoordinasikan cara yang dulu bisa kami lakukan untuk mengoordinasikan dan moderasi konten (gutting) menjadikannya platform yang sangat sulit untuk digunakan saat ini,” kata Aoun.

Media Sosial Alternatif

Di tengah kekacauan Twitter tersebut, sejumlah media sosial alternatif seperti Mastodon, Bluesky muncul. Sayangnya, belum ada media sosial yang mampu menyamai Twitter era pra-Elon Musk.

Selain itu, kedua media sosial tersebut masih kecil jumlah penggunanya.

Beberapa aktivis mencoba menggunakan Instagram dan TikTok. Akan tetapi, peruntukkan media sosial tersebut berbeda dari Twitter.

Menanggapi situasi ini, Enyia menyebut para aktivis tidak ambil pusing. Menurutnya, “media sosial hanya alat.”

“Tidak ada patokan pasti untuk bertemu, melibatkan, mengatur, dan berbicara dengan orang. Jadi, meskipun kami menyadari media sosial adalah alat, kami tidak menaruh semua ‘telur’ kami di sana,” kata dia.

“Kami harus tetap di atas itu dan memastikan alat dipergunakan sesuai tujuannya. Tetapi kami juga harus siap untuk berubah dan berevolusi ke alat baru ketika sudah ada arah yang jelas yang kami harus tuju,” ujarnya menambahkan.

Musk sendiri pada awal Juni ini telah menyerahkan jabatannya sebagai CEO Twitter kepada Linda Yaccarino. Sebelumnya, Yaccarino merupakan direktur global advertising and partnerships NBCU.

[CNN]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *