HUJAN-hujan begini enaknya minum atau makan yang panas-panas, bukan? Eh, maksudnya yang hangat-hangat, sehangat berita uang panas yang dirilis Kompas.com 17 Januari 2023 lalu.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata menduga ‘uang panas’ Gubernur Papua Lukas Enembe mencapai triliunan rupiah.
Kompas.com mengawali teras berita dengan memberikan tanda petik tunggal terhadap frasa uang panas. Artinya, uang tersebut tidak benar-benar panas saat fisiknya diraba dan diterawang.
Lantas apanya yang panas dari si uang?
Pertama, pemberitaannya. Jika si uang tidak dilekatkan dengan kata panas, tentunya efeknya tidak begitu besar. Saat kata panas tersebut dilepaskan dari kata uang, “…menduga uang Gubernur Papua Lukas Enembe mencapai triliunan rupiah”.
Lho, beritanya jadi biasa-biasa saja, bahkan cenderung terkesan kepo dengan kepemilikan harta seseorang.
Uang panas didefinisikan KBBI sebagai ungkapan yang memiliki makna ‘uang pinjaman dengan bunga yang tinggi; uang yang diperoleh dengan mudah atau dengan jalan yang tidak sah; uang yang banyak tersedia dalam peredaran (cak).
Nah, saat dimasukkan ke dalam konteks tuturan Wakil Ketua KPK, kita tidak bisa serta merta mengutip satu dari tiga definisi yang sudah dicantumkan di dalam KBBI. Perlu kita uji setiap makna tersebut dengan memasukkan konteks yang dihadirkan.
Di sinilah bagian kedua mengapa uang dapat menjadi panas.
Kompas.com melanjutkan beritanya dengan memuat pernyataan bahwa ternyata Lukas Enembe diduga menerima suap Direktur PT Tabi Bangun Papua dan gratifikasi terkait jabatannya.
Konteks ini mempertegas makna ‘uang pinjaman dengan bunga yang tinggi’ gugur dengan sendirinya. Tidak logis jika sang gubernur mendapatkan pinjaman dari seorang direktur, bukan?
Pernyataan tersebut juga menggugurkan definisi uang panas yang ketiga. Tidak mungkin berkaitan dengan uang yang banyak tersedia dalam peredaran.
Jadi, kita bisa fokus bahwa uang panas yang dimaksud Wakil KPK ialah uang yang diperoleh dengan mudah atau dengan jalan yang tidak sah. Kata suap dan gratifikasi pada isi berita mempertegasnya.
Namun, kita tidak akan bercerita uang panas dari sisi KBBI karena itu sangat sensitif. Kita fokuskan mengapa suap dan gratifikasi bisa diasosiasikan sebagai uang panas.
Inilah pembahasan yang ketiga mengapa uang bisa menjadi panas.
Suap secara denotatif berhubungan dengan organ mulut. Jika subjek menerima suap, artinya ada dua. Pertama, ia terkena perbuatan pasif karena ada pihak lain yang ingin me-nyuapnya.
Kedua, ia dikenai perbuatan aktif jika ia yang minta disuap.
Masih berhubungan dengan mulut, disuap berarti membuat kondisi mulut dalam keadaan ter-tutup. Kondisi ini menyebabkan mulut tidak bisa melakukan kegiatan apa pun selain mengunyah sesuatu yang disuap-kan tadi.
Mulut kehilangan fungsi untuk ber-suara alias memberikan informasi. Makanya ada pula dikenal ungkapan “uang tutup mulut”.
Biasanya hasil suap digunakan untuk kebutuhan perut karena aktivitas suap dilakukan melalui mulut. Artinya, suap untuk kepentingan primer guna bertahan hidup. Dua-duanya sama-sama “panas” karena diperoleh dengan cara yang mudah bagi si penerima suap.
Berikutnya, kata gratifikasi, bermakna pemberian yang diberikan karena layanan atau manfaat yang diperoleh. Kata pemberian bermakna sesuatu yang didapat dari orang lain. Organ yang berfungsi me-nerima ialah tangan.
Artinya, jika tangan sedang menerima suatu pemberian, tentunya tangan pun kehilangan fungsi sementaranya.
Misalnya, tangan yang sedang menggenggam atau memegang tidak bisa digunakan untuk menunjuk (melalui fungsi jari); tidak bisa menerima pemberian dari pihak lain (karena kebiasaan menerima sesuatu dengan kedua tangan dalam posisi terbuka).
Posisi tangan saat diberi tentulah lebih rendah dibandingkan posisi tangan saat meminta.
Sekali lagi, kegiatan ini lebih cenderung kepada kegiatan pasif dari si penerima. Ini juga memperkuat pernyataan bahwa sesuatu pemberian didapatkan dengan cara mudah makanya bersesuaian dengan makna “uang panas”.
[KOMPAS]