MK Nilai Parpol Tetap Punya Peran Sentral meski Pemilu Pakai Sistem Proporsional Terbuka

Nasional54 Dilihat

JAKARTA, – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dengan demikian, pemilu di Indonesia tetap menerapkan sistem proporsional terbuka.

Mahkamah tak sejalan dengan para pemohon yang menganggap bahwa sistem pemilu proporsional terbuka menyebabkan peran partai politik menjadi terdistorsi.

Menurut MK, parpol tetap punya peran sentral kendati pemilu menerapkan sistem proporsional terbuka.

“Peran partai politik sama sekali tidak berkurang, apalagi menyebabkan hilangnya daulat partai politik dalam kehidupan berdemokrasi,” kata Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam persidangan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (15/6/2023).

Mahkamah menyampaikan, peran penting parpol dalam pemilu terlihat dalam banyak hal. Salah satunya, parpol punya otoritas penuh dalam proses seleksi penentuan bakal calon anggota legislatif (caleg), termasuk penentuan nomor urut caleg.

Selain itu, fakta menunjukkan bahwa sejak penyelenggaraan pemilu pasca-amendemen UUD 1945, partai politik menjadi satu-satunya pintu masuk bagi warga negara untuk dapat diajukan sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Menurut Mahkamah, peran sentral partai politik juga tampak dalam pengelolaan jalannya kinerja anggota DPR/DPRD.

Dalam hal ini, parpol punya kewenangan untuk menyelidiki dan sewaktu-waktu mengevaluasi terhadap anggotanya yang duduk di kursi parlemen melalui mekanisme pergantian antarwaktu atau PAW.

“Dengan adanya pelembagaan mekanisme PAW tersebut, maka para anggota DPR atau DPRD dituntut untuk tetap bersikap loyal dan berkomitmen terhadap garis kebijakan partai politiknya,” ujar Saldi.

Bahkan, jika dikaitkan dengan konteks sistem pemilu proporsional terbuka, tatkala terjadi PAW, para pemilih akan langsung mengetahui siapa pengganti anggota DPR atau DPRD setelahnya. Sebab, pergantian anggota DPR atau DPRD yang didasarkan pada suara terbanyak dalam pemilu yang ditentukan oleh pilihan rakyat.

Namun, sekalipun PAW tetap berdasarkan suara terbanyak, proses pergantian anggota legislatif tersebut tidak akan pernah terjadi tanpa adanya peran partai politik.

Terakhir, Mahkamah berpandangan, peran sentral partai politik juga ditunjukkan dengan adanya pembentukan fraksi di DPR atau DPRD sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Oleh karenanya, menurut Mahkamah, para pemohon berlebihan karena menyatakan bahwa sistem pemilu proporsional terbuka menyebabkan peran partai politik dikesampingkan.

“Menurut Mahkamah, sesuai dengan ketentuan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 yang menempatkan partai politik sebagai peserta pemilihan umum anggota DPR/DPRD, dalam batas penalaran yang wajar, dalil demikian adalah sesuatu yang berlebihan,” tutur Saldi.

Untuk diketahui, uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu diajukan pada 14 November 2022. Gugatan yang teregistrasi dengan nomor 114/PPU/XX/2022 itu menyoal sejumlah ketentuan, di antaranya Pasal 168 ayat (2) tentang sistem pemilu.

Lewat gugatan tersebut, para pemohon meminta MK mengubah sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup.

Adapun Pasal 168 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017 berbunyi, “Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka”.

Para pemohon berpendapat, sistem pemilu proporsional terbuka bertentangan dengan konstitusi. Sebab, Pasal 18 ayat (3) dan Pasal 19 UUD 1945 menerangkan bahwa anggota DPR dan DPRD dipilih dalam pemilu, di mana pesertanya adalah partai politik.

Sementara, dengan sistem pemilu terbuka, pemohon berpandangan, peran parpol menjadi terdistorsi dan dikesampingkan. Sebab, calon legislatif terpilih adalah yang mendapat suara terbanyak, bukan yang ditentukan oleh partai politik.

Para pemohon yang berniat mencalonkan diri sebagai anggota legislatif pada pemilu pun merasa dirugikan dengan sistem pemilu proporsional terbuka. Sistem tersebut dinilai menimbulkan persaingan yang tidak sehat yang menitikberatkan pada aspek popularitas dan kekuatan modal calon anggota legislatif.

[KOMPAS]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *